Zina vs Kebebasan Individu, Siapa yang Berhak Mengatur Tubuh Perempuan?

Ilustrasi foto hamil di luar nikah/istimewa

Oleh: Iin Norris
(Aktivis Islam, Pemerhati Sosial dan Keluarga)

Perdebatan tentang kehamilan di luar nikah selalu mengundang kontroversi. Dalam perspektif Islam, posisi hukumnya sangat jelas: zina adalah dosa besar. Dalil-dalilnya tegas dan tak terbantahkan, seperti dalam firman Allah, “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk,” (QS. Al-Isra: 32).

Namun, ketika memasuki ruang diskusi yang lebih plural—dimana nilai budaya, ideologi, dan kebebasan individu saling bersinggungan—pertanyaan mendasar pun muncul: siapa yang sebenarnya berhak mengatur tubuh dan perilaku manusia?

Secara historis, manusia pernah hidup tanpa sistem hukum atau nilai yang mengatur hubungan seksual. Tidak ada batasan, tidak ada konsep sah atau tidak sah dalam hal kehamilan. Lelaki dan perempuan hidup secara alami; laki-laki cenderung bersifat nomaden dan otonom dalam mencari makan, sementara perempuan—karena fungsi biologisnya—lebih banyak terlibat dalam proses melahirkan dan merawat anak. Kesenjangan peran ini menciptakan ketimpangan yang membuat laki-laki dipandang lebih unggul dari perempuan.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, muncullah komunitas-komunitas yang mulai membentuk sistem kepercayaan dan ritual keagamaan. Dari sinilah muncul aturan yang mewajibkan perempuan hamil memiliki ikatan sah berupa pernikahan. Namun karena pembentukan aturan ini dianggap tidak berbasis pada sains atau rasionalitas empiris, maka sebagian kalangan menyebutnya sebagai bagian dari "budaya".

Dari sudut pandang teori sosial modern, budaya sering dianggap sebagai hasil kesepakatan masyarakat pada zamannya, sebuah konstruksi sosial yang muncul dari kebutuhan dan kondisi saat itu. Jika demikian, maka aturan moral yang lahir dari budaya dianggap sudah tidak relevan bila tidak lagi sesuai dengan konteks masyarakat modern. Lalu apakah itu berarti kehamilan di luar nikah kini sah-sah saja selama sesuai dengan semangat zaman?

Di titik inilah ideologi liberalisme masuk. Sebagai paham yang menjunjung tinggi kebebasan individu, liberalisme menawarkan empat pilar kebebasan utama: kebebasan individu, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan kepemilikan. Berdasarkan prinsip ini, tubuh manusia adalah milik mutlak individu. Maka, selama kehamilan—baik dalam pernikahan maupun di luar nikah—jika tidak menimbulkan gangguan sosial, ia harus dilindungi sebagai hak pribadi. Di sinilah titik tolak utama pertentangan antara nilai-nilai agama, budaya, dan liberalisme.

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Liberalisme yang membela kebebasan juga mengakui keberadaan komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan sistem keyakinan agama. Maka dalam sistem liberal, umat beragama juga dilindungi haknya untuk menjalankan ajaran agamanya, termasuk aturan moralnya. Dalam hal ini, Islam tegas menyatakan bahwa hukum tidak boleh dibuat berdasarkan kesepakatan manusia semata. Dalam Islam, Allah adalah satu-satunya sumber hukum.

Larangan zina dalam Islam bukan semata soal dosa spiritual, melainkan karena dampak sosial yang ditimbulkannya. Zina menimbulkan kerusakan sistem keluarga. Anak yang lahir tanpa kejelasan ayah kerap mengalami gangguan tumbuh kembang secara psikologis, yang dalam studi modern dikenal sebagai fatherlessness. Ketidakhadiran figur ayah berdampak pada rasa aman, kestabilan emosi, dan pembentukan identitas anak, sebagaimana dibuktikan dalam berbagai riset psikologi perkembangan.

Dari sisi ibu, beban menjadi ganda. Ia harus menjalani proses kehamilan, melahirkan, menyusui, sekaligus menjadi pencari nafkah karena tidak ada pria yang bertanggung jawab secara legal. Masyarakat boleh saja menyebut ini sebagai "pilihan hidup", namun fakta biologis tetap tidak bisa diabaikan: tubuh laki-laki dan perempuan berbeda, termasuk secara hormonal, struktur otak, hingga fungsi sosialnya. Ketimpangan ini membuat perempuan yang menjalani peran ganda rawan mengalami kelelahan fisik dan mental.

Ada memang laki-laki yang secara sukarela mengambil tanggung jawab, seperti musisi Anji yang tetap mengakui anak hasil hubungan di luar nikahnya. Namun, kasus semacam ini adalah pilihan individu—bukan norma hukum. Dalam sistem liberal, tidak ada kewajiban legal yang mengikat, karena nilai moral tidak dijadikan dasar pembentukan undang-undang. Apa yang dilakukan Anji bersifat kasuistik dan tidak mewakili keseluruhan laki-laki dalam masyarakat.

Maka muncul pertanyaan penting: apakah liberalisme adalah solusi yang mutlak? Tidak juga. Sebab jika liberalisme membela kebebasan semua pihak, maka komunitas agama seperti Islam juga harus diberi ruang untuk menyuarakan dan menjalankan nilai-nilainya. Dan dalam Islam, zina adalah sumber kerusakan moral dan sosial. Oleh karena itu, bukan hanya soal keharaman, tapi juga soal menjaga keseimbangan masyarakat secara menyeluruh.

Pada akhirnya, perdebatan soal kehamilan di luar nikah bukan hanya pertarungan antara moral agama dan kebebasan individu, melainkan juga soal bagaimana kita membangun tatanan masyarakat yang adil, seimbang, dan manusiawi. Islam hadir dengan hukum yang tidak hanya memelihara akhlak individu, tetapi juga menjaga struktur sosial dari kerusakan yang lebih besar. Sementara liberalisme memberikan ruang bagi kebebasan, namun tidak selalu mampu menjawab kebutuhan akan tanggung jawab kolektif.

Maka, dalam masyarakat yang terus bergerak menuju modernitas, pertanyaan mendasar tetap harus dijawab: apakah kita ingin hidup dalam sistem yang mengedepankan kebebasan tanpa batas, atau dalam tatanan yang menyeimbangkan hak dengan tanggung jawab? Karena tanpa pijakan nilai yang kokoh, kebebasan bisa berubah menjadi kekacauan. Dan yang paling sering menanggung akibatnya adalah mereka yang paling rentan: anak-anak dan perempuan.

Baca Juga

Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال