Vaksin HPV (dok: istimewa) |
disrupsi.id - Medan | Di luar gerbang Sekolah Dasar Swasta Mulia menjelang tengah hari, sederet aktivitas terhampar dalam tekun yang lazim, Selasa 24 Juni 2025. Beberapa pedagang tampak sibuk menata etalase portabel sebelum diserbu siswa, beberapa orang tua tengah bertukar cerita sembari menunggui anak mereka selesai kegiatan belajar mengajar, dan penjaga gerbang sekolah yang bersiap-siap membunyikan bel.
Jurnalis disrupsi.id melipir pelan ke keramaian perempuan, yaitu orang tua yang hendak menjemput anaknya pulang. Ketika pertanyaan mengenai vaksin disodorkan, beberapa orang tua kompak menyatakan keberatan mereka mengenai vaksin HPV.
“Kan udah pernah anak kami divaksin di Posyandu, vaksin apalagi rupanya?” tanya Risma, ibu dari siswi kelas V SD Swasta Mulia dengan nada tinggi. Ia menilai program vaksin HPV terlalu mengada-ada dan terkesan membuang anggaran.
“Dari pada pemerintah membuat itu (mengadakan program vaksin, red), mending lah uangnya untuk buku (buku pelajaran, red), biar gratis. Karena tiap ganti tahun ajaran, mesti belik buku, bukan tak pening awak dibuatnya.”
Jawaban Risma diiyakan oleh perempuan yang duduk persis di sebelahnya. Namanya Dewi, berpakaian modis, dengan setelan hitam dan kerudung bergo warna coklat. Ia baru pulang belanja dari grosir, juga tengah menunggui anaknya yang duduk di kelas V.
“Karena tak ceboknya itu makanya kenak kanker,” timpal Dewi. Ia beranggapan orang yang menderita kanker serviks dikarenakan tidak menjaga kebersihan. “Orang-orang dulu, gak adanya suntik vaksin, sehatnya, gak ada dulu kanker serviks, karena dulu makanan bagus, dan dulu mudah dapat air bersih,” katanya menambahkan.
Dari kejauhan, terdengar suara seorang perempuan yang menyumpahi matahari. “Rusak la mukaku dibikin panas ni,” gerutunya sambil memarkirkan motor di dekat gerobak bakso kojek. Lalu ia berjalan cepat, dan langsung bergabung di keramaian, mendaratkan diri pada bangku panjang.
Ya, siang itu amat terik. Sinar matahari menyirami halaman Sekolah Dasar Swasta Mulia di Jalan Kenanga Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan yang semennya sudah mengelupas di sana-sini. Minimnya ruang hijau membuat sekolah berlantai dua yang didominasi cat warna kuning itu jadi terlihat terang tanpa lampu sorot.
“Vaksin serviks itu ya?” tanyanya lugas, setelah sebelumnya mengenalkan diri. Ia dipanggil Mak Regar. “Anakku tak kukasi suntik itu. Demam pulak nanti anak ku,” Dilepasnya masker hitam yang masih menempel di mulut. Tanpa diminta, ia beberkan alasan kenapa ia tak mengizinkan anaknya mendapatkan vaksin HPV.
“Tengokla Covid kemarin (virus corona virus, red), tetanggaku disuntik vaksin covid, langsung demam. Habis tu, jadi besakitan dia sampe sekarang.”
Pernyataan Mak Regar mendapat sambutan antusias dari para orang tua. Meski tak lewat pemungutan suara, namun mereka menunjukkan mufakat bahwa vaksin tak diperlukan.
“Jangankan di sini (Sekolah Dasar Swasta Mulia Medan, red), di sekolah lain aja banyak yang tak mau suntik vaksin HPV. Dari 30 anak, cuma 4 orang yang mau suntik,” paparnya seraya menyebut nama sekolah yang dimaksud.
Hal ini menambah daftar panjang orang tua yang tak bersedia anaknya disuntik vaksin HPV. Faktanya, program vaksinasi HPV untuk siswi sekolah dasar di Kota Medan masih menghadapi tantangan besar.
Sekolah Dasar Swasta Mulia Medan (dok: Farida) |
Meski pihak sekolah telah menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung program ini, namun partisipasi anak didik masih terganjal oleh keraguan orang tua terhadap kemungkinan efek samping vaksin. Kekhawatiran ini menjadi penghalang bagi upaya penting melindungi generasi muda dari ancaman kanker serviks di masa depan.
Wakil Kepala Sekolah Dasar Swasta Mulia, Lilis Rospita, mengamini realitas yang terjadi di lingkungan sekolah, bahwa sebagian besar penolakan berasal dari kekhawatiran orang tua terhadap efek samping vaksin.
“Banyak orang tua takut anaknya sakit setelah disuntik, mengalami demam, atau khawatir akan dampak jangka panjang dari vaksin ini,” ujar Lilis saat ditemui jurnalis disrupsi.id di sela-sela sosialisasi Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di Kantor Kecamatan Medan Selayang, Kamis 3 Juli 2025.
Tak hanya itu, pengaruh lingkungan juga berperan besar. Menurut Lilis, jika di lingkungan anak-anak tersebut banyak yang tidak mengikuti program vaksinasi, maka siswi lain cenderung ikut-ikutan tidak divaksinasi karena merasa itu hal yang lumrah.
Salah satu kendala terbesar adalah mencuatnya persepsi bahwa vaksin HPV yang diberikan gratis oleh puskesmas dianggap kurang meyakinkan dibanding vaksin berbayar di rumah sakit.
“Ada orang tua yang lebih percaya vaksin yang mahal di rumah sakit karena merasa kualitasnya lebih baik. Jadi mereka lebih percaya dengan vaksin yang berbayar. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri,” jelas Lilis yang hari itu mengenakan setelan berwarna biru muda.
Wakil Kepala Sekolah Dasar Swasta Mulia, Lilis Rospita (dok: Farida) |
Sekolah telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan edukasi dan sosialisasi, termasuk menyebarkan informasi mengenai manfaat vaksin HPV dan bahaya kanker serviks melalui grup komunikasi (whatsapp grup, red) orang tua.
“Kami terus membagikan informasi tentang vaksin HPV dan kanker serviks. Kami juga bagikan testimoni orang tua yang sudah setuju anaknya divaksin. Begitupun, kami selalu membuat surat persetujuan orangtua. Kalau orangtua tidak setuju, maka anaknya tidak disuntik,” pungkas Lilis.
Namun, sebagian orang tua tetap memilih menunda atau bahkan menolak. Lilis juga menyampaikan bahwa latar belakang ekonomi siswi turut memengaruhi pengambilan keputusan orang tua.
“Banyak dari mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, sehingga memiliki keterbatasan informasi dan akses terhadap literasi kesehatan. Karena itulah orangtua harus terus menerus diberikan edukasi terkait vaksinasi HPV ini,” ucapnya.
Agar vaksinasi HPV berjalan lancar, Lilis berharap keterlibatan aktif dari tenaga medis untuk memberikan penjelasan langsung kepada orang tua siswi. Sebab pendekatan dari tenaga profesional lebih ampuh dalam menumbuhkan rasa percaya.
“Begitupun orangtua lebih yakin kalau yang menjelaskan langsung adalah dokter. Kami sangat terbuka, jika memang perlu konsultasi dulu, silakan,” sebutnya.
Kolaborasi antara sekolah, puskesmas, dan tokoh kesehatan menjadi kunci agar program imunisasi nasional ini dapat diterima lebih luas dan menyelamatkan generasi masa depan dari risiko penyakit yang mematikan.
"Kami berharap orangtua sadar akan pentingnya vaksin HPV ini. Kita ingin semua bisa berpartisipasi. Kalau pun takut kita hadirkan dokternya untuk bisa konsultasi. Jadi tidak ada keraguan dan masalah setelah pelaksanaan vaksinasi," bebernya.
Program vaksinasi HPV (Human Papillomavirus) sendiri telah dicanangkan secara nasional sejak 2023 untuk siswi SD kelas 5 dan 6. Namun tingkat partisipasi masih jauh dari target. Upaya Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Kesehatan untuk melindungi generasi muda dari kanker serviks masih menghadapi tantangan besar.
Pada 2023, vaksin HPV diberikan kepada siswi kelas 5 SD sebagai langkah awal dari dua dosis yang dibutuhkan. Dari target 16.446 siswi SD se-Kota Medan, hanya 5.664 yang berhasil menerima vaksin dosis pertama atau setara dengan 34,44 persen cakupan.
Situasi sedikit membaik pada 2024. Program diperluas untuk mencakup siswi kelas 5 dan 6 agar seluruh anak perempuan bisa menyelesaikan dua dosis vaksin sesuai jadwal. Dari sasaran 16.358 anak, hanya 6.475 siswi atau sekitar 39,58 persen yang telah menerima vaksin.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Medan, dr. Pocut Fatimah Fitri MARS mengatakan tantangan besar masih dihadapi untuk melaksanakan vaksinasi HPV di antaranya minimnya pengetahuan dan munculnya hoaks di media sosial yang mempengaruhi keputusan orang tua.
"Yang membuat cakupan vaksinasi HPV rendah karena pengetahuan orangtua masih kurang. Sehingga orangtua tidak memberikan izin untuk anaknya divaksin HPV. Ada juga orangtua yang takut anaknya demam setelah vaksin. Dia menganggap vaksin ini berbahaya. Orangtua mencari cari informasi hoaks yang menjelekkan. Dan informasi hoaks itupula yang mereka percayai," kata Pocut Fatimah Fitri saat ditemui jurnalis disrupsi.id di Kantor Dinkes Medan, Rabu 9 Juli 2025.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Medan, dr. Pocut Fatimah Fitri MARS (dok: Farida) |
Beberapa orangtua bahkan menolak tanpa alasan medis yang jelas hingga menganggap vaksin HPV tidak terlalu penting. Namun begitu, Dinas Kesehatan Kota Medan terus melakukan sosialisasi agar capaian vaksinasi meningkat.
“Yang sedihnya, kita desak puskesmas untuk mencapai target, jumlah anaknya 200 orang, yang mau hanya 8 orang. Kita suruh kejar lagi, tetap tidak ada yang mau. Empat kali puskesmas datang, capaiannya cuma 10 persen," ucapnya.
Tak sedikit yang meragukan keamanan vaksin HPV lantaran diberikan secara gratis. Sebab harga vaksin HPV di luar program nasional tergolong mahal. Untuk dua dosis, biaya yang harus dikeluarkan berkisar Rp2,5 juta. Oleh karena itu, program gratis ini seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin.
“Vaksin HPV dipastikan halal dan aman. Vaksinnya gratis karena dibayarkan oleh pemerintah dengan jasa pelayanan yang juga gratis. Bukan karena vaksinnya jelek. Kalau memang mau vaksin yang berbayar silakan ke rumah sakit. Mungkin ada orangtua yang mahal "minded", silahkan ke doker spesialis anak. Tidak masalah yang penting anaknya divaksin. Tapi kalau mau gratis, ikuti program yang diadakan pemerintah. Vaksinnya sama, hanya cara berpikirnya yang perlu kita luruskan,” tambahnya.
Penolakan ini juga diperkuat oleh asumsi yang salah bahwa vaksinasi bisa mendorong perilaku seksual dini. Pocut menekankan bahwa vaksin justru diberikan untuk mencegah infeksi virus HPV sebelum anak memasuki usia aktif seksual. Perlindungan ini penting mengingat kanker serviks bisa berkembang diam-diam selama bertahun-tahun tanpa gejala.
"Beberapa orang tua masih terpengaruh informasi keliru yang menyebut vaksin bisa mendorong perilaku seksual bebas. Harusnya itukan norma agama, norma adat istiadat. Kita harap semua anak itu aktif seksual setelah menikah. Setelah cukup ekonomi nya, setelah cukup usianya, setelah cukup semuanya baru bisa dia menikah," tegasnya.
Pocut bahkan mendapati beberapa kepala sekolah di Kota Medan menolak diadakan vaksinasi HPV. Namun, setelah diberikan pemahaman yang komprehensif mengenai manfaat dan keamanan vaksin, sikap mereka mulai berubah.
"Ada sekolah yang bahkan sejak awal menolak. Saya gak ngerti juga, mungkin kepala sekolahnya kelompok anti-vaksin. Saat kita tanyakan, kepala sekolahnya bilang orangtua juga tak mau anak anaknya divaksin. Harusnya kepala sekolah yang aktif memberi pemahaman kepada orangtua murid," sebutnya.
Untuk mengejar cakupan vaksinasi, Dinas Kesehatan Medan melakukan sosialisasi dengan menggandeng Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dinas Pendidikan, Kemenag, Dinas Kominfo, BP3APM (Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat) camat, hingga institusi pendidikan tinggi.
"Kita undang kepala sekolah dan dikumpulkan di kantor camat. Mereka diberi edukasi tentang vaksinasi HPV. Keterlibatan aktif pihak sekolah sangat penting dalam mendukung keberhasilan program ini, terutama dalam menjembatani komunikasi antara tenaga kesehatan dan orang tua siswa," urainya.
Dinkes Medan melakukan sosialisasi Bulan Imunisasi Anak Sekolah di Kantor Camat Medan Selayang. Dalam kegiatan ini juga disosialisasikan pentingnya vaksin HPV untuk anak sekolah dasar. (dok: Farida) |
Selain vaksinasi, kesadaran akan deteksi dini juga harus ditingkatkan. Di banyak kasus, kanker serviks tidak menimbulkan gejala awal yang jelas. Gejala biasanya muncul saat kanker sudah memasuki stadium lanjut, seperti perdarahan di luar siklus haid atau nyeri panggul.
"Jangan tunggu sampai ada keputihan, pendarahan yang tidak normal atau nyeri baru periksa. Karena ini menandakan kanker sudah masuk stadium lanjut. Vaksinasi ini langkah awal untuk menjaga anak perempuan tetap sehat hingga dewasa," imbuhnya.
Pocut mengajak orang tua untuk tidak ragu melindungi anak-anak mereka. Vaksin HPV telah terbukti secara ilmiah dan didukung WHO serta Kementerian Kesehatan RI. Jika melewatkan kesempatan vaksinasi gratis, maka vaksin hanya bisa didapatkan secara mandiri dengan biaya yang tidak sedikit.
"Kita harap vaksinasi HPV bisa meningkat. Vaksin HPV investasi kesehatan jangka panjang yang tidak hanya melindungi anak dari kanker serviks, tetapi juga mendidik masyarakat agar lebih peduli terhadap pencegahan. Mari bersikap bijak dengan menyaring informasi secara cerdas dan mempercayai sumber-sumber resmi seperti WHO, Kementerian Kesehatan, IDAI, dan Dinas Kesehatan," tegasnya.
Terpisah, Dr. dr. Khairani Sukatendel, M.Ked(OG), Sp.OG(K), SH, MH(Kes), CP(Med) menyebutkan kanker serviks merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada perempuan di Indonesia. Vaksinasi Human Papillomavirus (HPV) merupakan langkah preventif paling efektif dalam menurunkan risiko kanker serviks.
Dr. dr. Khairani Sukatendel, M.Ked(OG), Sp.OG(K), SH, MH(Kes), CP(Med) (dok: Istimewa) |
"Vaksinasi HPV merupakan program imunisasi untuk melindungi tubuh dari infeksi HPV. Vaksinasi ini bermanfaat untuk mencegah kanker di area kelamin dan organ reproduksi, seperti kanker serviks,” ujar Khairani saat dihubungi disrupsi.id, Rabu 16 Juli 2025
Program vaksinasi HPV gratis dari pemerintah Indonesia saat ini menyasar anak perempuan usia 9 hingga 14 tahun, yang menerima dua dosis dengan jeda 6 hingga 12 bulan.
Sedangkan untuk perempuan usia 15 tahun ke atas, tidak termasuk dalam program imunisasi nasional yang gratis. Sehingga perlu membelinya di fasilitas kesehatan yang menyediakan vaksinasi HPV. Pada usia ini vaksin diberikan dalam tiga dosis dengan jadwal pada bulan ke-0, ke-1, dan ke-6.
“Vaksin HPV sebaiknya diberikan sejak usia dini karena respon pembentukan antibodi nya lebih baik pada anak anak dibanding dari orang dewasa," sebutnya.
Saat ini tersedia tiga jenis vaksin HPV antara lain Bivalen: Melindungi dari dua jenis virus HPV berisiko tinggi, yakni tipe 16 dan 18. Lalu vaksin Kuadrivalen yang mencakup empat jenis virus penyebab kanker dan kutil kelamin. Kemudian Nanovalen (nonavalen) memberikan perlindungan terhadap sembilan jenis HPV, mencakup lebih dari 90% penyebab kanker serviks.
"Meski jenis vaksin berbeda, semuanya sama-sama diberikan dalam skema dua atau tiga dosis sesuai usia, dan memiliki efektivitas tinggi dalam mencegah infeksi HPV penyebab kanker serviks," terangnya.
Penting untuk diketahui bahwa vaksin HPV berfungsi sebagai pencegahan primer, bukan pengobatan. Artinya, vaksin ini efektif mencegah infeksi HPV yang berpotensi menyerang di masa depan, namun tidak dapat mengatasi infeksi yang sudah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, pemberian vaksin sebelum seseorang aktif secara seksual menjadi langkah paling ideal.
"Vaksin HPV memang sangat efektif mencegah kanker serviks. Begitupun, meski sudah divaksin, tetap saja harus melakukan pencegahan lainnya seperti menjalankan pola hidup sehat dan bersih, menghindari aktivitas seksual di usia muda hingga aktivitas seksual dengan mitra berganti ganti," tegasnya.
Tak hanya itu, skrining atau deteksi dini kanker serviks sangat penting dilakukan. Metode seperti Pap smear atau IVA test sebaiknya dilakukan dua tahun setelah seseorang aktif secara seksual, dan diulang secara berkala.
"Vaksin hanya mencakup sekitar 90-95% jenis HPV penyebab kanker. Masih ada 5% virus lain yang belum tercakup, dan bisa bersifat fatal. Pemeriksaan rutin tetap menjadi langkah penting untuk deteksi dan penanganan dini. Sayangnya, tingkat partisipasi masyarakat dalam skrining masih rendah, hanya sekitar 20%. Penyebabnya karena malu, takut ketahuan penyakitnya, tau tau sudah parah," paparnya.
Khairani mengakui program vaksinasi ini masih menghadapi tantangan serius berupa hoaks yang menyebar di masyarakat. Salah satu informasi keliru yakni vaksin HPV dapat menyebabkan infertilitas atau gangguan kesuburan. Khairani menegaskan ini klaim yang tidak berdasar dan bertentangan dengan bukti ilmiah.
"Berita hoaks yang beredar bahwasanya vaksin HPV itu membuat perempuan menjadi infertil ataupun subfertil. Selain itu beredar pula hoaks bahwa vaksinasi merupakan konspirasi. Jadi masyarakat masih banyak yang belum teredukasi," terangnya.
Menurut Khairani kanker serviks umumnya tidak menunjukkan gejala pada stadium awal. Akan tetapi kondisi keputihan yang tidak kunjung sembuh dengan mengeluarkan bau tidak sedap, pendarahan saat berhubungan, dan nyeri panggul, kerap muncul saat kanker sudah memasuki stadium lanjut. Karena itu, deteksi dini sangat krusial untuk meningkatkan angka harapan hidup.
"Jika terdiagnosis pada stadium awal (1A atau 1B), tingkat kesembuhan mencapai 95%, dengan penanganan yang meliputi operasi dan kemoterapi. Namun, jika sudah memasuki stadium 2B atau lebih, operasi tidak lagi memungkinkan dan hanya bisa ditangani dengan kemoterapi,” urainya.
Khairani menekankan pentingnya kolaborasi antara tenaga kesehatan, masyarakat, dan pemerintah daerah untuk meningkatkan cakupan vaksinasi dan edukasi kanker serviks.
"Pemda harus aktif. Kita siap bantu, mulai dari kampanye vaksinasi hingga deteksi dini gratis. Tapi kalau tidak ada dukungan dari pemerintah daerah, sulit untuk menjangkau masyarakat luas," ujarnya.
Sementara itu, kepada para orangtua yang masih ragu, Khairani berpesan agar tidak mudah percaya informasi palsu. Program vaksinasi HPV merupakan investasi besar negara untuk generasi mendatang.
"Kalau pemerintah sudah mengucurkan dana besar, itu artinya program ini penting. Jangan abaikan manfaatnya hanya karena termakan hoaks," bebernya. (*)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.