Ketika Hakim Tunduk pada Kuasa, Ancaman Neraka di Depan Mata

Tom Lembong, dalam proses persidangan kasus impor gula


disrupsi.id - Medan Keputusan hakim, pada hakikatnya, bukan semata soal legalitas. Ia juga menyangkut nilai moral, keadilan, dan keberpihakan pada kebenaran. Sayangnya, dalam praktiknya, tak semua putusan berpijak pada nilai-nilai tersebut.

Berbaga survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap sistem peradilan masih fluktuatif. Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2022, hanya 48 persen responden yang menyatakan puas terhadap sistem hukum Indonesia. Sementara itu, laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) menyoroti banyaknya putusan pengadilan yang dianggap janggal atau terlalu ringan, terutama dalam kasus korupsi dan pelanggaran HAM.

Sejumlah vonis kontroversial yang menyulut reaksi publik menjadi bukti bahwa sistem peradilan kita belum benar-benar imparsial. Ketika pelaku kejahatan kerah putih hanya dijatuhi hukuman ringan, sementara pelanggaran kecil dijatuhi vonis berat, masyarakat pun bertanya: di mana keadilan yang sesungguhnya?

Dalam situasi seperti ini, profesi hakim menghadapi dilema besar: mempertahankan integritas, atau tunduk pada tekanan sistemik dan kekuasaan. Ketika pilihan jatuh pada yang kedua, maka keadilan menjadi korban.

Etika Hakim dan Pandangan Agama

Dalam perspektif keagamaan, khususnya Islam, posisi hakim memiliki beban spiritual yang amat berat. Rasulullah SAW pernah bersabda:

"Hakim itu ada tiga: satu di surga, dua di neraka. Hakim yang di surga adalah yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengan benar. Adapun dua lainnya—yang tidak mengetahui tapi tetap mengadili, dan yang tahu kebenaran namun memutuskan dengan zalim—keduanya berada di neraka." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Hadis ini menyiratkan bahwa kekeliruan dalam keputusan hukum bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan bisa menjadi dosa besar—terutama jika dilandasi niat tidak adil atau korup.

Agama lain pun memberikan panduan moral serupa. Dalam Kekristenan, misalnya, Alkitab menyebutkan dalam Amsal 17:15: "Membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar, kedua-duanya adalah kekejian bagi TUHAN." Prinsip-prinsip etika universal ini menunjukkan bahwa vonis yang tidak adil adalah bentuk kezaliman yang tak hanya merusak dunia, tapi juga mencoreng nilai-nilai keilahian.

Dari Ruang Sidang ke Pengadilan Akhirat

Kasus-kasus ketidakadilan tidak hanya menyisakan luka pada korban, tapi juga menodai institusi hukum itu sendiri. Ketika hakim lebih mendengar bisikan kekuasaan ketimbang suara keadilan, maka ruang sidang tak ubahnya teater kepalsuan. Bagi masyarakat yang menggantungkan harapan pada hukum, ini adalah bentuk pengkhianatan paling dalam.

Sebaliknya, hakim yang jujur dan berani menolak intervensi, seringkali justru menghadapi tekanan politik, sosial, bahkan ancaman keamanan. Ini menunjukkan bahwa keberanian moral adalah syarat mutlak untuk menjaga marwah pengadilan.

Beberapa kasus yang mencuat menunjukkan adanya praktik mafia peradilan, di mana keputusan dapat "dibeli" dengan sejumlah imbalan. Ini menandakan rusaknya integritas dalam jantung lembaga peradilan. Bahkan Komisi Yudisial (KY) mencatat lebih dari 1.500 laporan dugaan pelanggaran etik oleh hakim sepanjang 2023.

Seperti yang baru saja terjadi dan paling membetot perhatian adalah putusan hakim terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula, pada Jumat, 18 Juli 2025.

Mantan Menteri Perdagangan era Joko Widodo ini divonis pidana empat tahun dan enam bulan penjara setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 194,72 miliar. 

Namun, banyak kejanggalan yang ditemukan dalam proses persidangan tersebut. Salah satunya, Tom tidak menikmati hasil korupsi, tak dinyatakan mensrea atau memiliki niat jahat, namun hakim tetap menjatuhkan vonis dengan mengabaikan fakta-fakta persidangan.

Urgensi Reformasi dan Penguatan Integritas

Beberapa langkah telah diambil Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam memperkuat integritas peradilan—seperti sertifikasi hakim, sistem pengawasan internal, dan pembinaan etika profesi. Namun, langkah tersebut masih butuh dukungan konkret, termasuk dari lembaga penegak hukum lain dan masyarakat sipil.

Integritas hakim tidak cukup ditegakkan melalui aturan, tetapi juga melalui keteladanan, pembinaan nilai, dan sistem rekrutmen yang lebih ketat. Profesi hakim seharusnya menjadi panggilan moral, bukan sekadar karier. Meningkatkan gaji dan kesejahteraan hakim penting, tapi tak kalah penting adalah menciptakan lingkungan yang menolak kompromi terhadap integritas.

Keterbukaan informasi juga menjadi kunci. Putusan pengadilan harus dapat diakses publik secara luas dan dapat dikritisi. Media massa, lembaga bantuan hukum, dan masyarakat sipil berperan penting dalam menjaga transparansi ini.

Menakar Ulang Makna Keadilan

Keadilan sejati tidak diukur dari seberapa kuat seseorang membela hukum secara literal, tetapi dari keberanian untuk bersikap adil meski itu berarti melawan arus. Dalam konteks inilah, setiap hakim diingatkan bahwa palu keadilan bukan sekadar simbol otoritas, tapi juga tanggung jawab di hadapan manusia dan Tuhan.

Akhirnya, pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama adalah: seberapa sering pengadilan menjadi tempat kebenaran bersuara, dan bukan tempat kekuasaan berlindung? Bila vonis hanya menjadi formalitas legalistik, tanpa nurani dan keadilan substantif, maka bukan tak mungkin palu yang diketuk itu justru menggiring sang pemukulnya menuju neraka.

Namun masih ada harapan. Banyak hakim muda yang memiliki idealisme tinggi dan menjunjung tinggi keadilan. Banyak komunitas hukum dan akademisi yang mendorong reformasi sistemik. Dan yang terpenting, masih ada publik yang peduli, bersuara, dan menuntut keadilan.

Kita tidak bisa berharap perubahan datang dari dalam sistem saja. Dibutuhkan tekanan, edukasi, dan partisipasi publik untuk memastikan bahwa ruang sidang bukan tempat sandiwara, melainkan ruang suci tempat kebenaran ditegakkan.

Dan bagi para hakim: ingatlah, keputusan Anda mungkin tak bisa dibatalkan di dunia. Tapi ia akan diperiksa ulang di akhirat.

Baca Juga

Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال