disrupsi.id - Jakarta | Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan sektor riil, khususnya melalui pembiayaan berkelanjutan yang menyasar industri strategis seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Industri ini memiliki peran vital dalam pembangunan ekonomi nasional, baik dari sisi penyerapan tenaga kerja maupun kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam rangka memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan, OJK menggelar konsinyering di Jakarta pada Jumat, 16 Mei 2025.
Acara tersebut melibatkan sejumlah kementerian terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, serta Badan Kebijakan Fiskal. Selain itu, turut hadir perwakilan industri perbankan dan pelaku usaha TPT.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa forum ini bertujuan membahas secara mendalam tantangan utama yang dihadapi sektor TPT, potensi sinergi antarpihak, serta kebutuhan pembiayaan yang adaptif terhadap prinsip keberlanjutan.
“Industri TPT kita punya peluang besar, baik di pasar domestik maupun global. Namun, masih ada tantangan struktural seperti tingginya biaya logistik dan ketergantungan pada pasar ekspor tertentu. Ini harus dijawab melalui pendekatan kolaboratif ‘Indonesia Incorporated’,” jelas Dian.
Dian juga menyoroti pentingnya diversifikasi pasar ekspor TPT Indonesia. Saat ini, ekspor masih terkonsentrasi pada negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Turki, Malaysia, dan Jepang. Padahal, tren deglobalisasi yang tengah berlangsung dapat memengaruhi kestabilan perdagangan global.
“Industri TPT harus memperluas pasar ekspornya dan secara bersamaan mengatasi inefisiensi logistik agar bisa bersaing dengan negara produsen tekstil lainnya,” tambahnya.
Menurut data OJK, hingga Maret 2025, kredit perbankan yang tersalurkan ke sektor TPT dan alas kaki mencapai Rp160,41 triliun, atau sekitar 2,03 persen dari total portofolio kredit nasional. Angka ini menunjukkan peran strategis perbankan dalam mendukung sektor ini sebagai enabler pembiayaan.
"Sinergi antara lembaga keuangan dan pelaku industri krusial agar pembiayaan dapat tepat sasaran dan berdampak jangka panjang. Sangat penting penguatan manajemen risiko dan penerapan prinsip kehati-hatian di tengah upaya memperluas akses pembiayaan," terangnya.
Kinerja industri TPT nasional pada Maret 2025 juga menunjukkan tren positif dengan pertumbuhan 4,64 persen (yoy), naik dari 4,26 persen pada 2024. Sektor ini berkontribusi 1,02 persen terhadap PDB nasional dan menyerap sekitar 4 juta tenaga kerja, atau hampir 33 persen dari total pekerja di industri padat karya.
"Daya tarik industri TPT juga tercermin dari meningkatnya investasi asing langsung (PMA) ke sektor ini dalam beberapa tahun terakhir," sebutnya.
Pemerintah telah memberikan berbagai stimulus, termasuk restrukturisasi mesin dan peralatan produksi, penguatan rantai pasok dan ketersediaan bahan baku hingga insentif fiskal seperti pemangkasan bea masuk, insentif pajak untuk industri padat karya, serta dukungan untuk sektor petrokimia dan subsidi listrik
Dalam forum tersebut, pelaku industri TPT juga menyampaikan aspirasi agar pemerintah memperkuat kebijakan yang melindungi industri lokal, khususnya terhadap lonjakan impor pakaian jadi. Mereka mendorong penerapan tarif bea masuk yang adil, penyederhanaan perizinan lingkungan (AMDAL), dan peningkatan pengawasan terhadap impor yang bisa memicu persaingan tidak sehat.
Dengan dukungan dari sektor keuangan, regulasi yang kondusif, dan kolaborasi lintas sektor, industri TPT Indonesia diharapkan mampu memperkuat daya saing di pasar global sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan. (*)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.