Debating, ilustrasi: ist
disrupsi.id - Medan|Di ruang debat publik, baik di kantor, warung kopi, maupun media sosial, banyak orang terjebak pada keyakinan bahwa suara keras dan jawaban panjang otomatis membuat mereka benar. Padahal, satu pertanyaan tajam bisa meruntuhkan logika yang rapuh jauh lebih cepat daripada jawaban berliku-liku. Penelitian Harvard Business Review bahkan menegaskan bahwa orang yang pandai bertanya sering terlihat lebih cerdas dibanding mereka yang hanya lihai menjawab.
Bertanya bukan sekadar alat klarifikasi. Ia adalah pisau analisis yang mampu membongkar kebingungan, bias, bahkan kontradiksi tersembunyi. Teknik bertanya yang sistematis juga menjadi fondasi berpikir kritis.
Hal ini tercermin dalam karya-karya klasik seperti The Socratic Method (Ward Farnsworth), Thank You for Arguing (Jay Heinrichs), Critical Thinking (Richard Paul & Linda Elder), Asking the Right Questions (Neil Browne & Stuart Keeley), Logic Made Easy (Deborah Bennett), The Art of Thinking Clearly (Rolf Dobelli), hingga How to Win Every Argument (Madsen Pirie).
Berikut tujuh teknik bertanya yang terbukti ampuh untuk menguji argumen, membongkar sesat pikir, dan melatih disiplin logika:
1. Pertanyaan Definisi
Ward Farnsworth menekankan: hampir semua perdebatan runtuh pada titik definisi. Misalnya ketika seseorang berkata, “kebebasan itu mutlak”, pertanyaan sederhana adalah: “Apa yang Anda maksud dengan kebebasan?” Tanpa kejelasan definisi, argumen hanya berputar di jargon. Inilah mengapa diskursus politik kerap kabur—kata besar seperti “demokrasi” sering dipakai tanpa pemahaman detail.
2. Pertanyaan Konsistensi
Neil Browne mengingatkan pentingnya menguji konsistensi argumen. Pertanyaan seperti, “Apakah pandangan ini sejalan dengan pendapat Anda sebelumnya?” mampu mengungkap kontradiksi. Contoh klasik: seseorang menolak kenaikan pajak tapi menuntut fasilitas publik lebih lengkap. Kontradiksi ini terbuka begitu diuji dengan pertanyaan konsistensi.
3. Pertanyaan Bukti
Menurut Richard Paul, argumen tanpa bukti hanyalah opini. Pertanyaan “Apa buktinya?” sering menjadi ujian paling efektif. Klaim seperti “anak muda sekarang malas membaca” mudah runtuh ketika diminta data pendukung. Tanpa basis bukti, pernyataan tinggal asumsi belaka.
4. Pertanyaan Konsekuensi
Deborah Bennett menekankan pentingnya melihat dampak dari sebuah klaim. Pertanyaan “Kalau pendapat itu diterapkan, konsekuensinya apa?” menguji realitas sebuah ide. Contoh: wacana “semua orang sebaiknya bekerja dari rumah” terdengar ideal, tapi langsung terbentur kenyataan ketika ditanya bagaimana dengan petani, sopir, atau pekerja konstruksi.
5. Pertanyaan Sumber
Jay Heinrichs menyoroti otoritas sumber. Pertanyaan “Darimana sumber Anda?” sering mematahkan argumen yang berdiri di atas gosip atau opini pribadi. Tanpa kebiasaan menguji sumber, masyarakat mudah terjebak pada banjir klaim tak jelas asalnya.
6. Pertanyaan Alternatif
Rolf Dobelli mengingatkan soal bias pikiran tunggal. Pertanyaan “Apakah ada pilihan lain?” membuka kemungkinan solusi yang lebih rasional. Dalam isu ekonomi misalnya, menaikkan upah mungkin penting, tapi apakah satu-satunya jalan? Dengan membuka alternatif lain seperti reformasi pajak atau efisiensi birokrasi, argumen menjadi lebih sehat.
7. Pertanyaan Intensi
Madsen Pirie menegaskan bahwa banyak argumen diselimuti motif tersembunyi. Pertanyaan “Apa tujuan Anda mengajukan argumen ini?” bisa membuka bias atau kepentingan tertentu. Dalam perdebatan publik, sering ada argumen yang dikemas seolah ilmiah, padahal hanya kedok pemasaran.
Bertanya sebagai Disiplin Berpikir
Tujuh teknik di atas menunjukkan bahwa pertanyaan bukan hanya pelengkap diskusi, melainkan alat utama membangun nalar kritis. Satu pertanyaan bisa lebih mematikan daripada seribu jawaban panjang. Di era banjir informasi dan polusi opini, keterampilan bertanya justru menjadi tameng untuk menjaga kejernihan berpikir.
Di ruang publik yang sering bising oleh klaim tanpa dasar, pertanyaan tajam adalah senjata intelektual yang paling jujur. Maka, alih-alih sibuk berdebat panjang, mungkin pertanyaannya sederhana: apakah kita cukup berani untuk bertanya dengan benar?
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.