Jakarta - Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Masyarakat Adat menolak RUU KSDAHE (Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Pasalnya hingga draft terakhir yang diterima pada Desember 2023, tidak ada perubahan positif secara materil maupun formil dari proses legislasi RUU KSDAHE.
"Kami telah menyampaikan surat terbuka kepada Panitia Kerja RUU KSDAHE dalam menyikapi legislasi RUU KSDAHE setelah 8 tahun lebih RUU ini keluar masuk program legislasi nasional, " kata Cindy Julianty yang mewakili BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat).
Masyarakat sipil sebelumnya telah menyampaikan masukan substansi RUU KSDAHE dalam bentuk policy briefs, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) juga rekomendasi kunci pasal-per pasal.
"Karena itu, WALHI, AMAN, KIARA, BRWA mewakili masyarakat sipil membedah poin-poin krusial yang masih menjadi persoalan ke dalam surat terbuka untuk menegaskan sikap dan posisi masyarakat sipil, " terangnya.
Dia menegaskan ada 3 alasan mendesak penundaan RUU KSDAHE. Pertama, proses legislasi RUU KSDAHE tidak transparan dan partisipatif (meaningfully participated) terutama dalam perumusan pasal – pasal.
"Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dokumen pada situs website terkait pembahasan legislasi, " ujarnya.
Kedua, tidak diakomodirnya usulan pihaknya terkait aspek partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengakuan hak – hak masyarakat adat dan masyarakat lokal.
"Ketiga, kami justru menemukan pasal-pasal yang bermasalah, dan membuka peluang lebih banyak terjadinya potensi kriminalisasi, diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi” tegasnya.
Sementara itu, Satrio Manggala selalu Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI menilai isu konservasi belum menjadi concern pengambil kebijakan.
"Padahal ini merupakan isu penting untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan krisis ekosistem hari ini. Hal ini dapat kita lihat dari absennya isu ini dari materi debat capres 2024," paparnya.
"Dari segi substansi, RUU KSDAHE juga menggunakan pendekatan represif untuk memastikan supaya kegiatan konservasi berjalan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pada pidana penjara, " pungkasnya.
Padahal pidana konservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih menekankan sanksi denda dan perampasan asset. Sanksi pidana ini juga bukan ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih banyak potensi kriminalisasi.
"RUU KSDAHE memiliki paradigma konservasi yang cenderung melihat masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai ancaman bukan sebagai mitra yang berkontribusi dalam pengelolaan konservasi. Alhasil pendekatan yang dilakukan negara justru kembali memunculkan konflik dan mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya, " terangnya.
Poin kritis lain disampaikan Moehammad Arman selaku Direktur Adv Kebijakan, Hukum & HAM AMAN. Menurutnya penyelenggaraan konservasi saat ini tidak berbasis pada hak asasi manusia dan abai terhadap hak masyarakat adat.
"Kami mengamati RUU KSDAHE ini juga tidak mengubah status quo, artinya tidak ada perubahan positif. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya partisipasi berarti dan persetujuan atas dasar tanpa paksaan di awal (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi. Kita tahu banyak dari kasus kriminalisasi terjadi akibat negara tidak memperhatikan aspek ini, " ungkapnya.
Misalnya kasus di colol yang dikenal dengan Rabu Berdarah yang menyebabkan 6 orang tewas, 28 orang luka-luka dan 3 orang diantaranya cacat permanen. Sehingga menjadi kekeliruan, jika RUU tidak mengatur aspek hak dan partisipasi.
"Padahal ada 75% wilayah adat masuk ke dalam Kawasan hutan dimana 1,6 juta hektare wilayah yang masuk dalam konservasi memiliki populasi sekitar 2,9 juta orang, " urainya.
RUU ini juga memiliki pasal bermasalah terkait dengan Areal Preservasi (Pasal 8) yang tidak jelas dan tidak menjawab tuntutan untuk mengakui aktor konservasi lain di luar negara. Kendati telah menyebutkan AKKM dan Daerah Perlindungan Kearifan Lokal, namun penetapan preservasi terkesan hanya berorientasi pada perluasan kawasan konservasi semata tanpa memperhatikan aspek hak dan distribusi manfaat.
"Hal ini ditekankan dalam Pasal 9 ayat (1) yang mempersempit ruang lingkup areal preservasi sebatas mempertahankan fungsi perlindungan wilayah dengan melakukan tindakan konservasi, dimana dalam hal pemegang izin di wilayah tersebut tidak melakukan tindakan konservasi, maka akan berkonsekuensi pada sanksi pelepasan hak atas tanah, " katanya.
Di sisi lain, Kasmita Widodo selaku Kepala BRWA menyoroti relevansi pengakuan dan perlindungan wilayah adat dan hutan adat dalam RUU KSDAHE.
"Kami setahun lalu punya harapan (draft RUU KSDAHE Tahun 2022), ada perubahan positif yang dapat melindungi Masyarakat dan mengakui kontribusi masyarakat atas konservasi keanekaragaman hayati, " terangnya.
Namun alih-alih memperbaiki kebijakan konservasi agar lebih inklusif, RUU KSDAHE ini justru akan mengkebiri Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 dan berdampak pada perjuangan masyarakat adat untuk mengembalikan hak masyarakat adat atas wilayah dan hutan adatnya.
"Kita tahu bahwa kita mengalami kesulitan dalam mengusulkan hutan adat di kawasan konservasi, ketentuan mengenai larangan bagi pengurangan luasan di kawasan pelestarian alam akan semakin memperkuat kebijakan konservasi yang sentralistik, " ungkapnya.
Erwin Suryana selaku Deputi Program dan Pengelolaan Pengetahuan KIARA memandang RUU ini dapat menjadi ancaman perampasan wilayah pesisir dan laut atau Ocean Grabbing, sehingga RUU KSDAHE dapat memenuhi ambisi KKP dalam mencapai target 30 by 30 yang bertumpu pada perluasan kawasan konservasi yang sebenarnya tetap melanggengkan konservasi yang selama ini sebenarnya sudah gagal untuk melakukan pelestarian alam dan laut.
"Padahal praktik-praktik terbaik ada di masyarakat, bukan hanya dilakukan oleh negara, justru praktik inilah yang seharusnya diakomodir dan diakui oleh negara sebagai kontribusi masyarakat untuk pencapaian tersebut dengan cara masyarakat sendiri, " sambungnya.
Erwin juga mengemukakan bahwa RUU KSDAHE belum mengarah pada model konservasi yang inklusif namun justru membuka ruang untuk private sector(investor) agar dapat bekerja lebih dalam di wilayah – wilayah konservasi yang dibungkus atas nama jasa lingkungan untuk melanggengkan proses kapitalisasi atau akumulasi modal.
"RUU KSDAHE ini gagal dalam mewujudkan transformasi kebijakan konservasi yang inklusif, adil, berbasis hak, berbudaya dan berciri-khas nusantara. Kami mempertegas kembali posisi kami terhadap legislasi RUU KSDAHE dalam surat terbuka yang akan kami sampaikan kepada Panitia Kerja RUU KSDAHE, " tutupnya. (Nor)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.