![]() |
foto: Saat warga Gaza menyerbu truk pembawa bantuan |
Disrupsi.id, Medan - Kabinet keamanan Israel dijadwalkan bertemu untuk membahas rencana pendudukan penuh Jalur Gaza pada 7 atau 8 Agustus 2025. Operasi yang disebut “Gideon’s Chariots” itu diproyeksikan untuk menundukkan Hamas dan membebaskan sekitar 50 sandera yang masih ditahan, dengan cara menguasai seluruh wilayah Gaza.
Pertemuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ini juga mencakup pemindahan warga sipil ke wilayah selatan Gaza, serta pengendalian distribusi bantuan kemanusiaan. Bantuan tersebut rencananya akan dikelola oleh kontraktor keamanan asal Amerika Serikat atau pengusaha lokal, menggantikan sistem PBB yang ditolak oleh Israel.
Namun, gagasan ini menuai kritik tajam. Pimpinan militer Israel, termasuk Kepala Staf IDF Letjen Eyal Zamir, memperingatkan bahwa operasi tersebut berisiko membahayakan sandera yang tersisa serta akan membebani logistik dan personel. Tentara cadangan disebut sudah mengalami kelelahan dan masalah kesehatan mental.
Keluarga para sandera dan mayoritas publik Israel—sekitar 70–75%—lebih memilih gencatan senjata daripada memperluas operasi militer. Aksi protes besar-besaran pun pecah di Tel Aviv pada 2 Agustus 2025.
Di tingkat internasional, PBB, Uni Eropa, Inggris, dan Tiongkok mengecam rencana tersebut. Mereka menilai pendudukan penuh dapat memperburuk krisis kemanusiaan bagi 2,1 juta warga Gaza yang sudah menghadapi kelaparan sejak blokade diberlakukan pada Maret 2025. Hamas pun menyebut langkah Israel sebagai bentuk “pemerasan” dan menuntut gencatan senjata permanen serta rekonstruksi Gaza.
Sejak pecahnya perang pada Oktober 2023, lebih dari 61.000 warga Palestina tewas dan 150.671 lainnya terluka. Analis menilai, selain untuk tujuan militer, rencana pendudukan penuh ini merupakan politik, yakni memperkuat posisi Netanyahu di pemerintahan yang didukung koalisi sayap kanan.
Meski sudah disetujui secara prinsip pada 5 Mei 2025, pelaksanaan operasi ini sempat ditunda hingga setelah kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah pada 13–16 Mei 2025. Penundaan dilakukan demi memberi ruang bagi negosiasi gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Hingga awal Agustus 2025, Israel telah menguasai sekitar 70–75% wilayah Gaza, termasuk zona penyangga di perbatasan, sambil melanjutkan serangan militer dan blokade bantuan kemanusiaan. Namun, rencana penguasaan penuh wilayah dan kendali penuh atas distribusi bantuan masih sebatas tahap perencanaan dan menghadapi tantangan signifikan, termasuk penolakan dari pimpinan militer Israel, keluarga sandera, dan komunitas internasional.
Pertemuan kabinet keamanan pada 6 Agustus 2025 pun batal menghasilkan keputusan final karena perbedaan pendapat internal, terutama antara Netanyahu dan pimpinan militer. PBB juga menolak keras skema Israel yang dinilai melemahkan peran lembaga internasional serta melanggar prinsip netralitas kemanusiaan, seperti ditegaskan pejabat PBB Miroslav Jenča. (pujo)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.