![]() |
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro |
Disrupsi.id, Caracas - Situasi di Venezuela semakin tegang setelah Amerika Serikat mengerahkan armada kapal perang ke perairan Laut Karibia selatan sebagai bagian dari operasi anti-narkoba yang menargetkan kartel narkotika di Amerika Latin.
Langkah ini memicu respons keras dari Presiden Nicolás Maduro, yang memobilisasi lebih dari 4,5 juta anggota milisi nasional untuk mempertahankan kedaulatan negara. Meskipun AS menegaskan operasi ini bertujuan memerangi perdagangan narkoba, banyak pengamat melihatnya sebagai eskalasi tekanan geopolitik terhadap rezim Maduro.
Menurut laporan dari berbagai sumber, tiga kapal perusak berpemandu misil AS—USS Gravely, USS Jason Dunham, dan USS Sampson telah dikerahkan dan diperkirakan tiba di perairan internasional dekat pantai Venezuela dalam waktu dekat.
Armada ini diperkuat dengan skuadron amfibi yang membawa sekitar 4.000 hingga 4.500 marinir dan pelaut, kapal selam bertenaga nuklir, serta pesawat pengintai P-8 Poseidon. Operasi ini, yang digambarkan sebagai salah satu penempatan terbesar AS di Karibia dalam beberapa dekade, bertujuan menghentikan alur narkoba ke AS, termasuk yang melibatkan Cartel de los Soles yang dituduh dipimpin oleh Maduro.
Pemerintahan Trump juga meningkatkan hadiah untuk penangkapan Maduro menjadi 50 juta dolar AS, dengan tuduhan sebagai "narco-terrorist" yang mendukung kartel seperti Tren de Aragua dan Sinaloa.
Di sisi Venezuela, Maduro merespons dengan mengumumkan rencana khusus untuk mengaktifkan milisi sipil yang "siap, aktif, dan bersenjata" di seluruh wilayah negara.
"Kami akan membela laut, langit, dan daratan kami. Tidak ada kekaisaran yang akan menyentuh tanah suci Venezuela," kata Maduro dalam pidato televisi.
Pemerintah Venezuela juga melarang penerbangan drone selama 30 hari, menandakan kekhawatiran akan serangan udara.
Milisi Bolivarian, yang dibentuk sejak era Hugo Chávez, kini menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Nasional Venezuela (FANB), meskipun kemampuan operasionalnya dipertanyakan oleh analis karena keterbatasan sumber daya dibandingkan kekuatan militer AS.
Reaksi internasional beragam. Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika (ALBA) menyatakan dukungan penuh terhadap Venezuela, menolak "pretext palsu" untuk intervensi asing.
China memperingatkan AS atas penumpukan militer ini, sementara negara tetangga seperti Kolombia dan Trinidad & Tobago menyatakan kekhawatiran atas potensi dampak regional, termasuk peningkatan pengawasan perbatasan.
Di media sosial X, postingan dari pengguna seperti @DIFUNDELOYA dan @SantiagoDLNWS menyoroti mobilisasi ini sebagai "Operasi Trump Trump," dengan video dan foto yang menunjukkan persiapan militer Venezuela.
Meskipun ketegangan tinggi, banyak warga Venezuela skeptis terhadap kemungkinan konflik langsung.
"Kami sudah mendengar rumor invasi selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah terjadi," kata seorang pengemudi di Valencia, mencerminkan kelelahan masyarakat atas krisis berkepanjangan.
Analis menilai operasi AS lebih sebagai demonstrasi kekuatan daripada rencana invasi langsung, meski Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt tidak menutup kemungkinan penggunaan "semua elemen kekuatan Amerika" jika diperlukan.
Situasi ini menambah ketidakstabilan di Venezuela, yang sudah bergulat dengan krisis ekonomi, hiperinflasi, dan migrasi massal. Pengamat internasional memantau perkembangan selanjutnya, dengan harapan diplomasi dapat mencegah eskalasi lebih lanjut di wilayah yang secara historis sensitif ini. (pujo)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.