![]() |
'Sleeping Prince' atau Pangeran Al-Waleed bin Khaleed bin Talal Al-Saud |
disrupsi.id - Medan|Kala itu, 2005. Dunia seorang remaja bernama Pangeran Al-Waleed bin Khaled Al Saud berubah selamanya. Dalam sebuah kecelakaan mobil tragis di London, pemuda keturunan kerajaan Arab Saudi itu mengalami cedera otak berat dan pendarahan internal yang membuatnya jatuh ke dalam keadaan koma. Saat itu usianya baru menginjak 15 tahun. Sejak itu, ia tak pernah benar-benar bangun.
Bertahun-tahun berlalu. Sementara dunia terus bergerak—perang datang dan pergi, teknologi berubah, generasi baru tumbuh—Pangeran Al-Waleed tetap terbaring diam, seolah tertidur panjang yang tak kunjung usai. Ia kemudian dikenal dunia sebagai "The Sleeping Prince," Pangeran yang tertidur selama hampir dua dekade.
Secara medis, apa yang dialami Al-Waleed dikenal sebagai Persistent Vegetative State (PVS), yakni kondisi di mana seseorang kehilangan fungsi kesadaran sepenuhnya, namun tubuhnya masih mempertahankan fungsi vital seperti bernapas dan denyut jantung. Dalam keadaan ini, pasien bisa membuka mata, menggerakkan jari secara refleks, atau menoleh, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda sadar terhadap dunia di sekelilingnya.
Profesor Martin Monti, ahli neuropsikologi dari UCLA, menjelaskan bahwa dalam kasus seperti ini, “jawaban mengapa seseorang tetap hidup begitu lama dalam keadaan koma—atau tiba-tiba sadar setelah bertahun-tahun—masih menjadi misteri medis.” Otak adalah organ yang rumit, dan setiap pasien dengan kerusakan otak memiliki jalannya sendiri. Ada yang pulih perlahan, ada yang tetap dalam kondisi vegetatif selama bertahun-tahun, dan ada pula yang meninggal tanpa pernah sadar kembali.
Kasus Al-Waleed bukan yang pertama. Sejarah mencatat beberapa nama lain seperti Edwarda O’Bara, yang koma selama 42 tahun, atau Aruna Shanbaug, perawat asal India yang hidup dalam keadaan vegetatif selama 42 tahun setelah diperkosa dan dicekik di rumah sakit tempatnya bekerja. Dengan dukungan penuh dari keluarga dan tim medis, mereka bertahan dalam kondisi tubuh yang hanya dihidupi oleh alat, nutrisi dari selang, dan perawatan harian yang intensif.
Pangeran Al-Waleed mendapatkan perawatan terbaik. Kamar medisnya di King Abdulaziz Medical City, Riyadh, dilengkapi alat bantu hidup mutakhir. Selama dua puluh tahun, keluarganya tidak pernah menyerah. Mereka menolak rekomendasi dokter untuk mencabut alat bantu hidup, meyakini bahwa harapan tetap ada, meski hanya sebesar denyut kecil di monitor. Beberapa kali, tubuh Al-Waleed menunjukkan gerakan refleks seperti mengangkat jari atau menggerakkan kepala saat suara-suara tertentu diputar di dekatnya. Keluarganya percaya itu adalah tanda ia sedang berjuang keras dari dalam sana.
Namun pada tanggal 19 Juli 2025, tepat ketika usianya genap 36 tahun, "The Sleeping Prince" menghembuskan napas terakhirnya. Setelah dua puluh tahun dalam diam dan gelap, ia akhirnya bebas dari penderitaan yang tak terucap.
Kisah Al-Waleed menjadi cermin betapa kompleks dan rapuhnya kehidupan manusia. Ia menantang pemahaman kita tentang batas antara hidup dan mati, antara kesadaran dan ketidaksadaran. Dalam dunia medis, koma panjang seperti ini bisa terjadi bila batang otak—bagian otak yang mengatur fungsi vital seperti napas dan detak jantung—masih utuh, sementara bagian lain yang mengatur kesadaran mengalami kerusakan parah. Itulah sebabnya, secara biologis pasien masih hidup, meski secara kognitif mereka "menghilang."
Hingga kini, dunia medis masih terus mempelajari fenomena ini. Terapi seperti stimulasi otak dalam (deep brain stimulation) dan rangsangan saraf median telah dicoba, namun belum ada metode yang konsisten berhasil mengembalikan pasien ke kesadaran penuh.
Berdasarkan realitas tersebut, harus dipahami bahwa di balik teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin canggih, ada satu kenyataan yang tak bisa ditepis, otak manusia menyimpan misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya.
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.