disrupsi.id - Medan | Korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatra Utara (Sumut) pada Tahun 2024 mencapai 1.822 orang. Dari jumlah itu, 623 orang merupakan perempuan dewasa, 837 anak perempuan dan 362 orang anak laki laki yang menjadi korban.
"Dari data Simfoni PPA Tahun 2024, total kasus yang dilaporkan mencapai 1.822 orang. Dari jumlah itu, ternyata jumlah anak yang menjadi korban sangat tinggi," kata Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (PPPAKB) Sumut, Roimah Harahap SAg. MAP dalam Seminar Hari Anak Nasional yang digelar Forum Wartawan Kesehatan Sumatra Utara di Medan, Rabu (23/7/2025).
Roimah memaparkan wilayah tertinggi ditemukan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak antara lain di Asahan mencapai 233 kasus, Medan mencapai 195 kasus, Deli Serdang mencapai 188 kasus, Simalungun 124 kasus, Labuhanbatu 113 dan Kota Gunungsitoli 133 kasus.
"Korban kekerasan paling banyak di usia 13-17 tahun. Jadi masih usia anak sekolah. Sedangkan jenis paling banyak yakni kekerasan seksual disusul kekerasan fisik, kekerasan psikis hingga penelantaran anak," ujarnya.
Menurutnya berdasarkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, kekerasan merupakan setiap kekerasan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan atau penelantaran termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
"Yang dikatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang dalam kandungan. Jumlah anak di Sumatra Utara pada Tahun 2023 mencapai 4.749.787 orang atau 30,36 persen dari jumlah penduduk di Sumut," sebutnya.
Roimah menyebutkan kasus kekerasan terhadap anak ibarat fenomena gunung es. Sebab banyak kasus yang tidak dilaporkan dibanding kasus yang dilaporkan. Sebab korban takut bicara atau speak up akibat trauma dan kekhawatiran akan pandangan atau stigma sosial.
"Kenapa masyarakat tidak berani melaporkan? Karena stigma. Jadi jangan pernah menyalahkan si korban, tapi salahkan lah pelaku. Dan jangan pernah menjadi pelaku kekerasan," tegasnya.
Hak hak anak, tambahnya, dilindungi di Indonesia dengan berbagai peraturan antara lain Konvensi Hak Anak 1989, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
"Faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak karena kurangnya pengawasan orang tua. Jadi proses pembelajaran dimulai dari rumah. Karena anak itu lahir bagaikan kertas putih, orangtua yang mencoret-coret nya dan kepedulian masyarakat rendah," ungkapnya.
Dinas PPPAKB Sumut, tambahnya, menyediakan berbagai layanan pendampingan bagi korban kekerasan melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). UPTD PPA memberikan perlindungan dan layanan terpadu, mulai dari pengaduan, pendampingan medis, bantuan hukum, rehabilitasi sosial, hingga layanan psikologis.
"Pertolongan pertama bagi korban kekerasan harus diawali dengan penanganan medis oleh Dinas Kesehatan, kemudian dirujuk ke layanan lainnya, termasuk pendampingan hukum dan psikologis," jelasnya.
Namun begitu, masyarakat memiliki tanggung jawab moral dan sosial dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tidak hanya cukup dengan mengetahui, tetapi juga perlu aktif melaporkan, mendampingi korban, dan memberikan pertolongan darurat bila diperlukan.
"Jika merasa takut atau malu untuk melapor langsung ke UPTD PPA, masyarakat dapat menghubungi layanan SAPA 129. Layanan ini terintegrasi secara nasional dan dijamin kerahasiaannya oleh pemerintah pusat dan provinsi," ujarnya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bukanlah isu sepele. Oleh karena itu, tambahnya, keterlibatan aktif semua pihak, mulai dari individu, keluarga, lembaga pendidikan, hingga pemerintah daerah, sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi seluruh warga.
"Dengan keberanian untuk bersuara, kita bisa mencegah terulangnya kekerasan serupa. Perempuan dan anak bukan hanya bagian dari masa depan, tetapi juga merupakan bagian penting dari masa kini yang harus dilindungi hak dan martabatnya," paparnya. (*)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.