Hilirisasi Pangan: Pilar Strategis Ketahanan dan Transformasi Ekonomi Sumatra Utara

Usai terpilih menjadi Presiden, Prabowo Subianto segera menyusun strategi untuk membangkitkan perekonomian Indonesia. Dalam sidang kabinet pertama, putra dari begawan ekonomi ini menginstruksikan para menterinya mencari pendanaan untuk menggenjot hilirisasi. Prabowo menekankan penghiliran akan menjadi kunci pemerintah mengatasi kemiskinan di tanah air.

Jika ditelaah, dalam konteks ekonomi, hilirisasi sering kali dianggap sebagai strategi penting untuk meningkatkan daya saing suatu negara dan menciptakan keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Dampak dari proses hilirisasi sangat beragam, mencakup sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam hal ini, Sumatra Utara memiliki potensi besar di sektor pertanian dan perkebunan. Dengan luas wilayah daratan mencapai lebih dari 7 juta hektare dan lahan pertanian produktif seperti sawah seluas 348.000 hektare serta lahan kering mencapai satu juta hektare, provinsi ini secara teoritis mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi sekitar 15 juta penduduknya. Namun, besarnya potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan karena kendala di tingkat hilirisasi dan distribusi hasil pertanian yang belum efisien.

Padahal tujuan utama dari proses hilirisasi adalah untuk meningkatkan harga jual dari sebuah produk. Dengan hilirisasi, suatu produk dapat memiliki nilai tambah dengan dilakukan pengolahan terhadap produk.

Namun, masalah utama yang dihadapi bukanlah kekurangan pasokan pangan, melainkan panjangnya rantai distribusi yang berdampak pada naik-turunnya harga dan ketimpangan pasokan antardaerah. Hal ini ditegaskan oleh Penjabat Gubernur Sumatra Utara, Hassanudin, yang mengatakan bahwa ketidakseimbangan harga pangan di pasar lebih disebabkan oleh jalur distribusi yang panjang dan tidak efisien, ketimbang kekurangan produksi. “Masalahnya bukan pada pasokan, tapi pada jalur distribusi yang terlalu panjang. Di tingkat petani stok tersedia, tapi tidak tersalur dengan baik,” ujarnya dalam sebuah pernyataan resmi pada awal 2024.

Hilirisasi pangan menjadi solusi strategis untuk menjawab tantangan tersebut. Melalui proses pengolahan hasil pertanian menjadi produk siap konsumsi atau setengah jadi, nilai tambah komoditas dapat ditingkatkan secara signifikan. Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatra Utara, Muhammad Juwaini, menegaskan bahwa hilirisasi perlu dilakukan secara luas untuk berbagai komoditas unggulan daerah. “Hilirisasi dapat dilakukan terhadap komoditas beras, jagung, kedelai, hingga hortikultura seperti cabai merah dan bawang merah. Ini bisa dilakukan langsung oleh kelompok tani atau UMKM lokal,” ujarnya.

Dukungan pemerintah terhadap hilirisasi semakin nyata dengan peluncuran berbagai program strategis, seperti Gerakan Sumut Menanam. Program ini menyediakan bantuan bibit, alat mesin pertanian (alsintan), serta pelatihan intensif kepada petani agar mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Lebih dari sekadar gerakan bercocok tanam, program ini diarahkan untuk mendorong petani menghasilkan komoditas yang bisa langsung diolah dan dipasarkan dalam bentuk produk bernilai tambah. “Gerakan ini bukan sekadar untuk mencukupi stok pangan, tapi juga bagian dari strategi jangka panjang untuk menciptakan kemandirian dan nilai ekonomi baru di tingkat lokal,” tambah Juwaini.

Selain pemerintah daerah, Bank Indonesia dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumut juga turut mendorong hilirisasi melalui pendekatan digitalisasi rantai pasok pangan dan perluasan kerjasama antardaerah. Salah satu inisiatif unggulan adalah pengembangan toko virtual berbasis aplikasi daring seperti Grab dan Gojek, yang memungkinkan produk pangan lokal menjangkau pasar lebih luas secara efisien. Kolaborasi dengan sektor swasta ini dinilai mampu memangkas rantai distribusi, meningkatkan transparansi harga, serta memperluas akses produk lokal ke konsumen perkotaan.

Peran UMKM dalam ekosistem hilirisasi juga tidak bisa diabaikan. Di berbagai daerah di Sumut, sudah mulai tumbuh pelaku usaha kecil yang mengolah komoditas lokal menjadi produk siap konsumsi. Sebagai contoh, PT Mitratani Dua Tujuh telah memulai panen perdana edamame di wilayah Sumut. Produk kedelai segar ini memiliki prospek ekspor yang menjanjikan karena tingginya permintaan di pasar Jepang dan negara-negara Asia Timur. Kisah sukses ini menjadi bukti nyata bahwa dengan pendampingan yang tepat, pelaku usaha lokal bisa menjadi ujung tombak ketahanan pangan dan pendorong ekonomi daerah.

Meski demikian, percepatan hilirisasi tetap menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan fasilitas pengolahan di dekat sentra produksi. Banyak petani masih bergantung pada penjual pengepul karena tidak memiliki akses langsung ke unit pengolahan. Di sisi lain, pelatihan dan pendampingan teknis masih belum merata, terutama di daerah pedalaman.

Untuk mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan langkah kolaboratif yang menyeluruh. Peningkatan infrastruktur pertanian, pengadaan alat pengolahan skala kecil untuk desa, serta perluasan akses pembiayaan melalui KUR atau program kredit mikro menjadi agenda mendesak. Pemerintah, swasta, akademisi, dan lembaga keuangan perlu bersinergi agar proses hilirisasi bisa dilakukan secara berkelanjutan dan inklusif. Selain itu, penting untuk mendorong keterlibatan generasi muda dalam sektor pertanian melalui pelatihan teknologi pertanian dan model bisnis agroindustri yang menarik.

Hilirisasi pangan bukan hanya tentang meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga bagian penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Dengan menjadikan Sumatra Utara sebagai model pengembangan hilirisasi berbasis komunitas lokal, Indonesia dapat membangun sistem pangan yang tangguh, mandiri, dan adaptif terhadap dinamika pasar global. 

Hanya saja perlu diingat bahwa proses hilirisasi ini juga memiliki dampak negatif jika tidak digarap dengan serius dan tanpa perencanaan yang matang. 

Di antaranya, proses hilirisasi dapat menyebabkan ketergantungan yang lebih besar pada industri tertentu, dapat memperluas kesenjangan sosial dan ekonomi, dapat menghasilkan limbah dan polusi lingkungan, meningkatkan kesenjangan akses terhadap pendidikan, serta memungkinkan adanya ketergantungan pada pasar global.

Tentunya, dibutuhkan sinergi dan kolaborasi antar berbagai pihak untuk dapat mendukung proses hilirisasi ini berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sehingga dapat mendukung ketahanan pangan di Sumatra Utara.


Baca Juga

Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال