disrupsi.id - Jakarta | Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) tahun 2023, kekerasan terhadap perempuan di ranah privat masih mendominasi, dengan angka mencapai 99% atau 336.804 kasus dari total 339.782 pengaduan kekerasan berbasis gender (KBG) yang diterima.
"Tren 2033 pelaporan langsung ke Komnas Perempuan menemukan bahwa mayoritas kekerasan seksual terjadi di ranah privat seperti KDRT," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam Workshop Urgensi Pedoman Pemberitaan Kekerasan Seksual Bagi Jurnalis yang diadakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) berkerjasama dengan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, Kamis (20/6/2024).
Menurut Andy, pasca pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022, berbagai upaya sosialisasi telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap UU tersebut.
"Jauh sebelum aturan turunan ada, upaya untuk sosialisasi justru sudah dilakukan kelompok masyarakat termasuk jurnalis. UU TPKS diharapkan menjadi landasan hukum yang komprehensif dalam menangani kekerasan seksual, " terangnya.
Andy menyebutkan menilai UU TPKS ini merupakan payung hukum yang komprehensif dan berpihak pada korban, dengan memuat berbagai kemajuan signifikan dibandingkan dengan peraturan sebelumnya.
"Undang undang ini mencakup poin-poin penting seperti pencegahan, penanganan, perlindungan korban, hingga pemulihan hak korban. UU TPKS memperluas cakupan tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual online dan eksploitasi seksual, " terangnya.
Andy berharap jurnalis yang melakukan peliputan tentang kasus kekerasan seksual agar melakukan peliputan yang perspektif korban, memenuhi hak korban, memprioritaskan perlindungan keselamatan korban, memberikan akses pemulihan tidak kembali trauma karena membaca liputan.
"Jurnalis dapat menggunakan platformnya untuk mengedukasi publik tentang isu kekerasan seksual, cermat dalam identifikasi kekerasan seksual. Selain itu yang tak kalah penting adalah dorong penanganan tuntas, mencermati proses penyelidikan hingga mengusut kejanggalan bila ada, " paparnya.
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum FJPI Uni Lubis mengatakan jurnalis dalam memberitakan kasus kekerasan seksual wajib memenuhi aturan yang berlaku terutama UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
"Jadi proses peliputan kasus kekerasan seksual harus memenuhi aturan yang ada. Semua informasi yang bisa mengacu pada korban wajib dirahasiakan. Sedangkan untuk korban yang usianya masih di bawah umur harusnya merujuk UU Perlindungan Anak," urainya.
Kekerasan seksual merupakan sebuah isu yang kompleks dan sensitif, dan cara media memberitakannya dapat berdampak signifikan pada korban, pelaku, dan masyarakat luas. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis untuk memahami pentingnya empati dalam proses peliputan kasus-kasus kekerasan seksual.
"Proses meliput kekerasan seksual yang paling penting adalah empati. Karena kekerasan seksual menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Peliputan yang tidak sensitif dapat memperburuk trauma dan menghambat proses pemulihan. Selain itu jurnalis harus menghormati privasi korban dan menghindari pengungkapan identitas mereka," terangnya.
Sementara itu, Kanit PPA Bareskrim Polri, AKBP Ema Rahmawati menambahkan kekerasan seksual merupakan kejahatan serius yang membutuhkan penanganan yang sensitif dan responsif terhadap gender.
"Polri telah mengembangkan berbagai langkah untuk menangani kasus kekerasan seksual dengan pendekatan yang lebih peka terhadap kebutuhan korban, khususnya perempuan dan anak-anak. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan maksimal dan memastikan keadilan bagi para korban," tegasnya. (*)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.
Tags
Nasional